Aku duduk di warung pecel lele, meresapi aroma rempah-rempah yang menggoda. Pandanganku melayang ke arah Masjid Jumhuriyah, simbol ketenangan di tengah keramaian Kota Pangkalan Balai. Sinar matahari senja menerangi jalan Merdeka, menciptakan perpaduan warna hangat yang mengusir lelah.
Di usiaku yang menginjak 25 tahun, aku merasa seperti permata yang sedang menghias hidupku sendiri. Suku Melayu Banyuasin adalah akar yang selalu kukenang, memberikan kekuatan dalam setiap langkah. Kota kecil ini mengajariku arti kesederhanaan, di tengah gemerlap modernitas.
Sambil menikmati lele goreng dan nasi, aku merenungkan hidup yang telah kujalani. Seperti perempuan muda lainnya, aku menghadapi tantangan dan mimpi. Pendidikan yang kubangun di kampus mengilhami aku untuk menjadi lebih dari apa yang pernah kuduga. Aku adalah penerus perjuangan generasi sebelumku, menulis cerita baru bagi keluarga dan komunitasku.
Melihat sekitar, wajah-wajah akrab tersenyum di sekitar warung. Ini adalah komunitas tempatku tumbuh dan berbagi. Aku merasa beruntung dapat mempertahankan akarku tanpa kehilangan jati diriku sebagai perempuan modern. Sederhana dan kuat, seperti permata yang tak tergoyahkan.
Di masjid yang menjulang tinggi, suara adzan mengingatkanku akan nilai-nilai yang kuhormati. Perempuan bukan hanya penampilan, melainkan kekuatan yang tak ternilai. Aku, Maya, perempuan Melayu Banyuasin, menemukan keindahan dalam setiap detik hidup, memancarkan cahaya keberanian dan kerja keras.
Seiring matahari tenggelam dan langit berubah warna, aku berdiri dengan keyakinan bahwa perempuan adalah permata kehidupan. Dalam kesederhanaan dan keberanian, kami menerangi dunia dengan warna-warna unik kami. Di Pangkalan Balai inilah kisahku ditulis, sebagai bagian dari alur yang lebih besar, menjadikan perempuan sebagai pilar kehidupan (***)
Posting Komentar