Hujan Emas di Negeri Orang, Hujan Batu di Negeri Sendiri


Aku duduk sendiri di sebuah kafe di kawasan Sudirman, Jakarta. Di usiaku yang menginjak 25 tahun, aku, Maya, seorang perempuan muda dengan akar suku Melayu Banyuasin, merenung sambil menatap secangkir kopi hangat di hadapanku. Hujan lebat mengguyur Jakarta hari ini, dan peluh di jendela kafe ini menyiratkan cerita yang berarti dalam hidupku.

Di balik cermin kaca jendela, kota ini begitu asing bagiku. Hujan yang turun dengan lebat, deras, dan sejuk membuatku teringat akan pepatah "Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri." Entah bagaimana, Jakarta terasa seperti negeri orang, sedangkan Banyuasin adalah negeriku sendiri.

Aku menggenggam cangkir kopi, mengecup bibirnya yang panas dan pahit. Sementara itu, ingatanku melayang ke rumah di desa kecil Banyuasin, di mana hujan adalah anugerah yang tak ternilai. Air hujan lembut seperti emas yang merayapi tanah subur, memberi makanan bagi sawah-sawah hijau yang melambai.

Namun, di sini, hujan adalah batu, menimbulkan rasa sakit yang tak terperikan. Jakarta begitu sibuk, seringkali terasa seperti beban yang harus kujinjing. Tapi aku berusaha, menjalani kehidupan di kota ini, mengejar mimpiku, seperti yang diajariku oleh ayah di Banyuasin.

Wajah-wajah yang berlalu di luar jendela, begitu beragam, setiap orang memiliki cerita dan tujuan masing-masing. Di dalam kafe ini, aku merasa seperti di tengah hujan batu yang menghadang langkahku, tetapi juga hujan emas yang memupuk keberanian untuk terus maju.

Kota ini mengajarkan aku arti kemandirian dan ketahanan. Aku menjadi tangguh. Meski aku berada di kota besar, aku tetap menyimpan akar dan nilai-nilai keluarga serta budayaku.

Meskipun kota ini penuh dengan hiruk-pikuk, aku selalu merindukan Banyuasin, tempat yang memberiku kebijaksanaan leluhurku. 

Sementara aku terus menikmati secangkir kopi ini, aku menyadari bahwa hujan emas di negeri orang dan hujan batu di negeri sendiri mungkin tidak seburuk yang aku kira. Mungkin, mereka hanya dua sisi dari koin kehidupan, mengajarkanku tentang keberanian dan adaptasi. Hujan yang turun di Jakarta adalah bagian dari perjalananku, dan aku harus menerimanya, seperti seorang perempuan muda Melayu Banyuasin yang berani melangkah di tengah hujan batu ini (***) 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama