Mempertahankan Tradisi: Wanita Muda Melayu Banyuasin di Persimpangan Kekinian

 

Aku, Maya, berumur 25 tahun, hidup di Jalan Merdeka Kota Pangkalan Balai, Kabupaten Banyuasin. Seperti setiap pagi, kota ini menyambutku dengan riuh rendahnya aktivitas. Namun, hatiku tetap terpaut pada kehangatan tradisi Melayu Banyuasin yang telah menjadi bagian jiwaku.


Di persimpangan kekinian, aku merasa menjadi penjaga warisan leluhur. Suku Melayu Banyuasin tidak hanya sekadar sebuah identitas, melainkan kumpulan nilai dan kearifan lokal yang mesti dijaga. Jalan Merdeka, di antara gemerlap modernitas, adalah saksi bisu perjalanan keluargaku.


Setiap langkahku di kota ini adalah kisah perjuangan melawan arus waktu. Tradisi adat, dengan keindahan busana khas Melayu Banyuasin, bukan hanya pakaian, melainkan kain yang merangkum sejarah keluargaku. Kebiasaan menanam padi di halaman belakang rumah, seolah menarik aku pada akar kehidupan yang tak lekang oleh zaman.


Namun, di tengah deru teknologi, aku sebagai wanita muda merasa perlu menjembatani tradisi dengan dunia modern. Jalan Merdeka menjadi tempat di mana panggilan masa lalu bertemu dengan tantangan masa depan. Aku, dalam setiap detik, berusaha menyusun puzzle antara keteguhan nilai-nilai warisan dan dinamika zaman.


Kota Pangkalan Balai bukan sekadar tempat tinggalku; ini adalah panggung di mana aku berusaha menuliskan kisah keberlanjutan. Berkaca pada matahari yang terbit di pelabuhan Banyuasin, aku melihat potret diriku sebagai penjaga tradisi, tak melupakan diri di tengah arus modernitas yang tak kenal lelah.


Dengan setiap tarikan nafas di Jalan Merdeka, aku merasakan tanggung jawab untuk tidak hanya melewati warisan ini kepada keturunanku, tetapi juga untuk menjadikannya cahaya di tengah kegelapan ketidakpastian. Aku, Maya, menggelar hidup di persimpangan kekinian dengan keyakinan bahwa mempertahankan tradisi bukanlah langkah mundur, melainkan kebijaksanaan dalam menjelajahi masa depan yang semakin kompleks (***) 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama